Rabu, 06 November 2013, 04:35 WIB
Para siswa mengikuti pelaksanaan ujian
nasional (UN) hari terakhir di ruang kelas SMUN 1 Jakarta, Kamis (18/4). (Republika/Prayogi)
SURABAYA - Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) akan mengubah pola ujian nasional (UN) pada 2015.
Karena, pada saat itu semua jenjang pendidikan sudah menerapkan Kurikulum 2013.
“Pola UN tidak mungkin diubah sekarang karena siswa pelaksana Kurikulum 2013
masih belum menjadi peserta UN,” kata Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi
Media Sukemi, Selasa (5/11).
Menurutnya, UN sebagai standar evaluasi akan tetap ada. Hal itu merujuk pada standar evaluasi yang selalu ada pada semua jenis kurikulum pendidikan. Selain itu, UN juga merupakan amanat UU Sisdiknas yang dapat menjadi ukuran untuk pembanding standar pendidikan dengan negara lain. “Tapi, pola UN bisa jadi akan disesuaikan dengan Kurikulum 2013 pada saat seluruh siswa sudah menerapkan Kurikulum 2013,” katanya.
Sedangkan, Kurikulum 2013 saat ini hanya diterapkan kepada siswa kelas I dan IV SD, kelas I (VII) SMP, dan kelas I (X) SMA. Ia mengaku belum bisa merinci bentuk perubahan pola UN itu. Yang jelas, UN saat ini dipakai pemerintah untuk empat fungsi, yaitu pemetaan, syarat kelulusan, syarat melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, dan intervensi kebijakan. Pemetaan dan intervensi kebijakan itu bisa dilakukan kalau ada UN.
Misalnya, ada SMA di Jakarta dengan hanya lima siswa yang semuanya tidak lulus UN, lalu Kemendikbud melakukan intervensi dengan kebijakan merger. Atau, SMA di NTB yang jeblok pada mata pelajaran bahasa Inggris, ternyata sekolah itu tidak memiliki guru bahasa Inggris dan pengajar bahasa Inggris justru guru bidang studi lain, lalu pihaknya memberikan guru bahasa Inggris.
US dan UN
Selain itu, mantan kepala Puspendik Balitbang Kemendikbud Hari Setiadi menyatakan, Kemendikbud sejak tahun 2011 sebenarnya sudah menggabungkan nilai ujian sekolah (US) dengan UN. US berfungsi sebagai evaluasi internal dan UN sebagai evaluasi eksternal. “Peran dari nilai US mencapai 40 persen, sedangkan UN mencapai 60 persen sehingga kalau banyak siswa yang lulus UN karena ada faktor US itu. Ke depan, kami akan memberikan kisi-kisi US agar kualitas US semakin baik,” ujarnya.
Hari mengatakan, US sebagai evaluasi internal merupakan “pintu masuk” bagi penilaian sesuai Kurikulum 2013 yang mengevaluasi sikap/perilaku, keterampilan, dan pengetahuan. Jika UN sebagai evaluasi eksternal, akan bisa menjadi “pintu masuk” bagi syarat masuk perguruan tinggi. Namun, UN sekarang masih belum sepenuhnya bisa seperti itu. Karena selama nilai US dan UN ada disparitas, menunjukkan kualitas masih rendah.
Wakil Ketua Dewan Pendidikan Jatim Bagong Suyanto menilai bahwa UN saat ini masih mengalami sakralisasi. Sehingga, evaluasi pendidikan saat ini justru menimbulkan “ketakutan” sehingga sekolah mirip LBB (lembaga bimbingan belajar).
“Karena itu, perlu ada desakralisasi UN dengan memosisikan UN sebatas 20-25 persen, sedangkan US dengan porsi lebih besar, yakni 75-80 persen,” katanya. Menurutnya, hal itu penting karena proses pembelajaran selama tiga tahun itu dievaluasi melalui US. Jadi, US lebih penting dan sesuai dengan Kurikulum 2013.
Masalahnya, pemerintah masih belum sepenuhnya percaya dengan sekolah sehingga US pun tidak dipercaya. “Ke depan, seiring dengan proses penerapan Kurikulum 2013, pemerintah harus percaya kepada US. Kalau sekolah dan guru tidak dipercaya, ya ironis,” ujar Bagong. n antara ed: muhammad hafil
Menurutnya, UN sebagai standar evaluasi akan tetap ada. Hal itu merujuk pada standar evaluasi yang selalu ada pada semua jenis kurikulum pendidikan. Selain itu, UN juga merupakan amanat UU Sisdiknas yang dapat menjadi ukuran untuk pembanding standar pendidikan dengan negara lain. “Tapi, pola UN bisa jadi akan disesuaikan dengan Kurikulum 2013 pada saat seluruh siswa sudah menerapkan Kurikulum 2013,” katanya.
Sedangkan, Kurikulum 2013 saat ini hanya diterapkan kepada siswa kelas I dan IV SD, kelas I (VII) SMP, dan kelas I (X) SMA. Ia mengaku belum bisa merinci bentuk perubahan pola UN itu. Yang jelas, UN saat ini dipakai pemerintah untuk empat fungsi, yaitu pemetaan, syarat kelulusan, syarat melanjutkan studi ke jenjang berikutnya, dan intervensi kebijakan. Pemetaan dan intervensi kebijakan itu bisa dilakukan kalau ada UN.
Misalnya, ada SMA di Jakarta dengan hanya lima siswa yang semuanya tidak lulus UN, lalu Kemendikbud melakukan intervensi dengan kebijakan merger. Atau, SMA di NTB yang jeblok pada mata pelajaran bahasa Inggris, ternyata sekolah itu tidak memiliki guru bahasa Inggris dan pengajar bahasa Inggris justru guru bidang studi lain, lalu pihaknya memberikan guru bahasa Inggris.
US dan UN
Selain itu, mantan kepala Puspendik Balitbang Kemendikbud Hari Setiadi menyatakan, Kemendikbud sejak tahun 2011 sebenarnya sudah menggabungkan nilai ujian sekolah (US) dengan UN. US berfungsi sebagai evaluasi internal dan UN sebagai evaluasi eksternal. “Peran dari nilai US mencapai 40 persen, sedangkan UN mencapai 60 persen sehingga kalau banyak siswa yang lulus UN karena ada faktor US itu. Ke depan, kami akan memberikan kisi-kisi US agar kualitas US semakin baik,” ujarnya.
Hari mengatakan, US sebagai evaluasi internal merupakan “pintu masuk” bagi penilaian sesuai Kurikulum 2013 yang mengevaluasi sikap/perilaku, keterampilan, dan pengetahuan. Jika UN sebagai evaluasi eksternal, akan bisa menjadi “pintu masuk” bagi syarat masuk perguruan tinggi. Namun, UN sekarang masih belum sepenuhnya bisa seperti itu. Karena selama nilai US dan UN ada disparitas, menunjukkan kualitas masih rendah.
Wakil Ketua Dewan Pendidikan Jatim Bagong Suyanto menilai bahwa UN saat ini masih mengalami sakralisasi. Sehingga, evaluasi pendidikan saat ini justru menimbulkan “ketakutan” sehingga sekolah mirip LBB (lembaga bimbingan belajar).
“Karena itu, perlu ada desakralisasi UN dengan memosisikan UN sebatas 20-25 persen, sedangkan US dengan porsi lebih besar, yakni 75-80 persen,” katanya. Menurutnya, hal itu penting karena proses pembelajaran selama tiga tahun itu dievaluasi melalui US. Jadi, US lebih penting dan sesuai dengan Kurikulum 2013.
Masalahnya, pemerintah masih belum sepenuhnya percaya dengan sekolah sehingga US pun tidak dipercaya. “Ke depan, seiring dengan proses penerapan Kurikulum 2013, pemerintah harus percaya kepada US. Kalau sekolah dan guru tidak dipercaya, ya ironis,” ujar Bagong. n antara ed: muhammad hafil
0 komentar:
Posting Komentar